Jumat, 01 Mei 2009

PEMILIHAN PRESIDEN KONTEMPORER DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Oleh. Prince Dindah,SIP


…..saudara dipilih …. Bukan dilotre, meskipun kami tak kenal siapa saudara,kami tak sudi memilih para juara… juara he..eh, juara ha…ha.. haa.

Diatas merupakan penggalan lirik lagu iwan fals yang begitu lugas menggambar tentang system pemilu di Indonesia untuk memilih wakil rakyat yang duduk di gedung perwakilannya tersebut. Penafsiran lirik tersebut menginformasikan kepada kalayak bahwa para wakil rakyat tersebut banyak yang tidak dikenal secara langsung oleh rakyat pemilik sah negeri ini. Perlu diketahui bahwa menurut ilmu ketatanegaraan rakyat adalah pemilik negara dan bukan pemerintahnya .

Hingar bingar dan issu kacau balaunya pelaksanaan pemilu legeslatif di negeri tercinta ini awal dari sebuah atau embrio demokrasi . Secara kualitas dan kuantitas terdapat banyak kendala dan hambatan atas upaya raihan kesuksesannya, misalnya problem yang mengemuka seperti perlunya pembenahan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) ,system pencoblosan ,penyelenggaraan dari bawah sampai atas, kesiapan payung hukum teknis penyelenggaraan pemilu dll termasuk posisi pemerintah itu sendiri . Jika dikupas misalnya tentang DPT, hal ini menunjukan lemahnya birokrasi pada kelembagaan yang menangani kependudukan dari tingkat terendah yakni RT/RW sampai jenjang lembaga diatasnya seperti BPS maupun kelembagaan pencataat kependudukan misalnya kantor catatan sipil di kabupaten/kota . Mengapa dikatakan sebuah kelemahan karena awal terbentuknya sebuah lembaga tentunya sudah digambarkan secara gambling tentang tugas pokok dan fungsinya mulai dari RT sampai dengan lembaga diatas maupun teratasnya. Konsekwensinya adalah salah satu tugas RT/RT adalah memonitar, mencatat dan memberikan laporan pada lembaga diatasnya tentang mobilitas barang dan orang diwilayahnya.Mengapa ini kurang maksimal kerjanya kemungkinan penyebabnya adalah para ketua RT/RW tidak mendapat honor, padahal sebagai salah satu mesin birokrasi terendah dalam arti yang langsung bersentuhan dengan masyarakat mereka butuh “bensin” agar bekerja energik. Selain itu kemungkinan lainnya adalah mudahnya oknum warga negara di negeri tercinta ini mendapatkan kartu tanda penduduk lebih dari satu, maka pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan itu, oknum petugas atau mudahnya system yang diberlakukan mendapatkan KTP. Jadi langkah awal solusi atas adalah penguatan system kelembagaan di tingkat RTRW kemudian secara pelan tapi meyakinkan melakukan pembinaan dan pembenahan personil yang bertugas di pencatatan kependudukan dan ketiga adalah menggunakan atau menyesuaikan perkembangan tehnologi dalam pelayanan kependudukan .

Pemilu legeslatif telah berlalu dengan beberapa cacatan seperti dikemukakan diatas , sesuai dengan aturan kepemiluan maka setelah pileg maka diselenggarakan pemilu lanjutan berupa pemilihan presiden yang lebih dikenal dengan sebutan pilpres. Melihat hasil survey yang dilakukan lembaga survey tentang hasil pemilu legeslatif, ada kecenderungan menarik bahwa di era reformasi ini masyarakat pemilih lebih banyak menjatuhkan pilihannya pada partai politik yang lahir di era reformasi. Berbagai kemungkinan penyebabnya perlu dikupas oleh partai politik peserta pemilu . Dan tidak perlu dikupas dalam tulisan ini.

Pemilihan Presiden di Negara kita ini yang dijadwalkan berlangsung tidak lama lagi “aroma”nya sudah mulai terasa. Hal ini dapat dilihat dari manuver yang dilakukan oleh politikus “papan atas” untuk bergerilya dan melakukan kalkulasi politik untuk memasang dan menjagokan pasangannya masing masing, ada yang dilakukan secara santun,ada yang saling kritik satu sama lainnya dan masih banyak lagi . Ini merupakan suguhan tontonan politik yang menarik bagi masyarakat. Apalagi dipublikasikan berbagai media. Masyarakat disuguhi hal – hal manuver petinggi partai politik yang galau dan gusar serta ada yang percaya diri dan bahkan ada yang sebaliknya . Jika dilakukan perbandingan kondisi dan situasi antara para petinggi partai politik dan kondisi masyarakat, maka hal ini sangat kontras atau terbalik. Karena sebagian masyarakat berlomba – lomba “memenuhi hak – hak dasar “ mereka secara swadaya dan swakelola ( misalnya pedagang yang sudah berangkat berjualan di pasar sejak jam 02.00 pagi tiap hari , abang becak yang terus diatas becaknya tiap hari tanpa mengayuh becaknya , karena tidak ada muatan dan masih banyak lagi yang mereka atau bagian dari warga masyarakat tersebut yang dalam mengais rejekinya tidak memanfaatkan uang APBN/D ) sedangkan sebaliknya para petinggi partai sedang berebut “kursi” empuk pemilihan presiden .Kemungkinan mereka dihinggapi rasa cemas . Kecemasan itu masuk akal karena jika mereka salah kalkulasi menempatkan pasangannya maka kekalahan adalah yang diusung. Nah, jika kekalahan yang didapat maka “kursi singgasana “ plus fasilitas layanan yang selama ini diterima akan ikut lenyap. Sebuah kecemasan atau kegalauan yang memprihatinkan kita semua.

Padahal perlu diketahui bahwa untuk pelaksanaan pemilihan presiden di Indonesia, dimana Indonesia masuk sebagai Negara sedang berkembang ini banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh para pelakunya. Dan ini tidak hanya penempatan dan pemilihan pasangan yang tepat terus dengan percaya diri merasa sudah terpilih sebagai pasang Presiden dan wakil Presiden . Tentunya hal tersebut tidak semudah membalik tangan .

Di Negara sedang berkembang seperti Indonesia ini dalam pemilihan presiden tidak hanya didasarkan pada figure semata, namun harus pula mempertimbangkan factor kepentingan internal dan eksternal. Kepentingan internal diantaranya adalah masyarakat pemilih, bagaimana perilaku mereka,respon mereka, tanggapan mereka dan meyakinkan mereka untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden tersebut. Perlu untuk diklasifikasikan pemilih tradisional dan pemilih yang rasional, program apa yang diminati dan sekarang sedang dinikmati oleh mereka, rasa aman dan nyaman dan masih banyak lagi. Sedangkan factor eksternal tentunya bahwa sebagai Negara sedang berkembang maka kekuatan untuk mandiri memenuhi kebutuhan sendiri sebagai bangsa adalah sebuah kemustahilan.Kita akan amat tergantung pada debitur yang menggelontor pinjaman kepada kita, meski dalam akadnya tak ada intervensi namun manuver debitur itu untuk menekan pada Negara berkembang yang sedang melangsungkan pergantian rezim di media pemilihan pilpres nuansanya sangat kental.

Sebagai sebuah Negara sedang berkembang maka tidak hanya donator yang berkeinginan mencari pasangan presiden dan wakil presiden yang dalam didikte mereka , namun perlu pula diketahui posisi perusahaan local, nasional maupun multi nasional yang sedang berinvestasi di Indonesia,mereka punya kekuatan berupa modal, dan ini tentunya juga punya pengaruh untuk “ mendikte” pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Mereka tidak ingin usaha mereka di Indonesia terusik sehingga mereka merasakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan berusaha di Indonesia.

Disamping itu sebagai Negara sedang berkembang yang sedang hidup ditengah – tengah masyarakat global yang didalamnya ada Negara maju, maka mau tidak mau Negara maju tersebut juga punya kepentingan dengan Negara kita, untuk itu secara implicit mereka juga dianggap “menentukan” dalam pemilihan capres dan cawapres, karena tidak mungkin dengan kekuatan yang berupa modal dan persenjataan yang mereka miliki mampu bernegosiasi dengan orang – orang yang dianggap pas sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan di Indonesia .

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa factor yang memungkinkan pasangan capres dan cawapres dapat terpilih menjadi presiden dan wakil presiden tidak hanya mereka yang mampu memenangi hingar bingar mereka saling bermanuver untuk berkoalisi dan membentuk blok-blokan (koalisi) yang hal ini bagi sebagian masyarakat sudah dianggap membosankan dan dicueki, namun yang terpilih nanti kemungkinannya adalah satu sudah memenuhi garis tangan yang ditetapkan Tuhan Yang Maha esa bahwa mereka kelak akan jadi Presiden dan wakil Presiden Indonesia , dua kemampuan mereka meramu berbagai selera /keinginan dari factor internal yakni masyarakat pemilih dan para stakeholdernya dan juga factor eksternal yakni system internasional yang ada seperti program PBB dalam memberantas terorisme dan korupsi, para pemberi pinjaman bersyarat pada Negara kita yang membikin kita terus bergantung padanya , para negara maju dengan modal dan senjata yang dimiliki punya kepentingan pada negara kita dan terakhir adalah perusahaan multi nasional yang berinvestasi di Negara kita . Para stakeholder factor internal ini dapat menggunakan tangan –tangan mereka dengan segala cara untuk memenangkan kepentingannya di Indonesia.

Jadi tidak hanya dengan hitung – hitungan menguasai masyarakat pemilih yang dalam hal ini dibuktikan dengan kemampuan dan keberhasilan berkoalisi yang dipertontonkan pada masyarakat setiap hari pada minggu-minggu ini yang dianggap mampu menaikan prosentase perolehan suara karena koalisi antar parpol sudah dianggap sebagai penjumlahan suara sehingga dapat menaikan perolehan suara .Hasil kalkulasi politik model begini sangat riskan dan berbahaya !! Karena factor lain yang telah diurakan diatas (Faktor eksternal) merupakan factor yang tidak nampak dalam politik dalam negeri kita tetapi perannya amat vital dalam menentukan siapa kepala Negara dan kepala pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan . Percaya atau tidak hal ini dapat dibuktikan .Sebuah partai yang perolehannya kecil dalam pileg kemungkinan memenangi pilpres ada karena mampu meramu factor – factor tersebut. Ingat ini terkondisikan karena kita adalah Negara sedang berkembang yang masih terus tergantung dan bergantung pada para stakeholder factor eksternal tadi . Mudah – mudahan ini bukan demokrasi semu , Ok . Bagaimana kita lepas dari itu semua , maka jawabannya adalah kita harus mandiri disegala bidang sehingga mampu jadi “petarung” dalam kancah internasional . Kapankah itu ?

---=’’=---