Sabtu, 04 Juli 2009

Daya Beli

Pada hari Minggu kira – kira satu bulan yang lalu ,ketika hari masih pagi , setelah subuh saya mencoba membiasakan jalan – jalan pagi yang saya sentralkan jalan pagi tersebut kearah aloon – aloon Jombang beberapa kali, bagi saya hal itu lumayan penting untuk bisa mengeluarkan racun – racun yang ada di dalam badan ini agar keluar bersama keringat hasil olah tubuh dan bukan sebaliknya berupa keringat dingin. Dan selama beberapa kali berjalan mengelilingi aloon – aloon Jombang saya melihat jumlah warga Jombang yang berolah badan di minggu pagi itu bertambah banyak , yang mana saya lihat ada anak – anak, pemuda dan pemudi sampai dengan dewasa, kakek – nenek yang sudah berambut putih.
Setelah berkeliling aloon – alon Jombang yang sejuk beberapa kali tersebut , kaki saya memberi peringatan pada saya untuk beristirahat sebentar, dan untuk merespon pesan kaki yang mulai capek berjalan tersebut saya putuskan istirahat di Aloon – Aloon Jombang pada ujung timur dan selatan tepatnya depannya menara yang digunakan untuk membunyikan suling biasanya pada saat magrib atau subuh pada bulan romadlon, maupun menjelang detik – detik proklamasi setiap tanggal 17 Agustus . Pilihan duduk saya untuk mojok di sudut aloon – aloon itu ternyata tidak sendirian , ada beberapa pelaku olah raga saat itu juga perlu beristirahat serta penumpang kereta api maupun bis yang baru turun di Stasiun Kereta Api Jombang maupun para tukang ojek . Aksi duduk saya yang secara kebetulan disebelah tempat saya duduk itu duduk pula seseorang laki – laki warga Jombang yang baru pulang dari merantau yang menurut dia sendiri baru pulang kali ini setelah hampir sepuluh tahun merantau meninggalkan kampung halamannya itu . Sambil menunggu jemputan dari keluarganya saya terlibat percakapan dengan orang tersebut.
Dalam pembicaraan saya dengan orang tersebut plus si Tukang Ojek , tampak bahwa orang tersebut sedang kaget, heran dan bahkan tidak percaya dengan perkembangan atau dinamika pembangunan yang terjadi di Kabupaten Jombang setelah hampir sepuluh tahun dia tinggalkan karena saat di tinggalkan Jombang kondisi aloon – aloon Jombang begitu sepi tidak seperti yang diceritakan si Tukang Ojek tadi, dimana jika pada malam hari, alon – aloon Jombang dan taman kebonrojo sangat ramai dengan pengunjung maupun para pedagang kaki lima. Selanjutnya Si Tukang Ojek itu juga menambahkan dengan penuh semangat dan bangga bahwa di Jombang telah pula berdiri mall baru di Jalan A. Yani maupun di Jalan Soekarno Hatta yang menjual pakaian . Pedagang di pasar tradisional juga seperti di pasar pon maupun pasar legi demikian meluber padahal hakekatnya para pedagang di pasar tradisional tersebut jelas – jelas berkompetisi secara sempurna , bebas atau liberal, namun ada keberatan dari si Tukang ojek tersebut bahwa masih banyak ditemukan mobil para pejabat mungkin berasal dari Jombang jika dilihat dari plat nomor kendaraannya, yang masih berkeliaran untuk membelanjakan uangnya diluar wilayah Jombang, padahal mereka menggali nafkah atau “mencangkul” di Kabupaten Jombang. Jika ini dihitung jumlah rupiah yang keluar dari Jombang sia – sia karena uang si Pejabat tersebut tidak berputar di Jombang sendiri .
Mencermati cerita si tukang ojek yang begitu lugu kepada warga Jombang yang baru pulang merantau tersebut seperti diantaranya tentang ramainya aloon – alon Jombang pada malam hari secara garis besar dapat digaris bawahi bahwa perekonomian secara riil di Kabupaten Jombang telah bergerak. Mengaca banyaknya atau melubernya para pedagang kaki lima yang ada di aloon – aloon Jombang pada malam hari atau banyaknya pedagang di pasar tradisional itu mengindikasikan adanya trend peningkatan partisipasi warga Jombang di bidang perekonomian . Dan jika diamati lebih seksama maka perputaran uang di Kabupaten Jombang telah berlangsung. Hanya saja masalahnya adalah bagaimana membuat perputaran uang tersebut dapat berjalan atau berlangsung secara lebih meningkat atau stabil dan kalau perlu dijaga jangan stagnan atau lesu . Jika ini dikembangkan dengan serius bukan tidak mungkin akan menambah pundi – pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jombang yang mengarah kepada terwujudnya kemakmuran warga Jombang secara gemah ripah loh jinawi tata tentren kerto raharjo . Bagaimana konsep agar agar daya beli tidak cenderung lesu atau melemah dengan melihat peluang dinamika perkembangan perekonomian riil di Jombang ?
Jawaban untuk pertanyaan ini jika terinspirasi dari ramainya aloon – aloon jombang di malam hari maka yang mungkin tepat misalnya adalah dalam bentuk diantaranya pengembangan/ membangun konsep paket wisata alami di Jombang. Alami disini dimaksudkan obyek wisata tersebut bukan sebuah pembentukan atau pengkondisian tetapi muncul secara alami dari interaksi social maupun ekonomi dan lainnya dari warga Jombang sendiri. Model garapan ini diantaranya dengan melakukan manajeman pengelolaan wisata seperti mendata dan mengumpulkan kegiatan masyarakat yang dapat dijadikan simpul – simpul paket wisata seperti geliat pasar tradisonal maupun pasar modern yang mulai tumbuh saling beriringan, kondisi aloon – aloon jombang, pesantren yang ada di Jombang, kondisi alam atau geografis yang ada maupun wisata agraris misalnya mulai dari bercocok tanam sampai panen dan menjual produknya dan produk wisata lainnya yang masih bisa digali .
Setelah paket wisata tersebut terbentuk dengan segala ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya , maka selanjutnya mencarikan pasar untuk wisata tersebut.
Nah, seyogyanya, mencari peluang pasar wisata ini merupakan sebuah korelasi dengan upaya penciptaan atau mewujudkan perputaran uang dari, ke, dan untuk warga jombang sendiri secara stabil dan menghindari stagnasi . Dikatakan demikian karena perekonomian “riil” seperti yang terjadi di Aloon – aloon Jombang akan berkelanjutan dan berdampak positif bagi perekonomian Jombang jika daya beli meningkat . Jadi disini uang diestimasi terus berputar mulai uang yang dibawa pengunjung aloon – aloon dan kemudian ditabung dibelanjakan ke pedagang disana lalu sang pedagang tersebut membelanjakan lagi untuk makan dan kulakan dan masih banyak lagi siklus perputaran uang tersebut. Selanjutnya inti masalahnya adalah siapa yang menjadi sasaran /obyek pemasaran wisata tersebut dalam rangka untuk meningkatkan daya beli atau dengan kata lain siapa yang dapat dijadikan/merupakan peluang sebagai penggerak untuk meningkatkan daya beli ? Terdapat sasaran dalam hal ini . Pertama adalah warga Jombang sendiri yang bekerja di Jombang maupun kedua yakni masyarakat diluar Jombang yang minat mengunjungi Jombang untuk berwisata maupun berinvestasi.
Untuk yang pertama perlu diklasifikasi kondisi social yang ada misalnya berapa jumlah komunitas petani yang terdiri dari petani selaku pemilik lahan pertanian/perkebunan sampai dengan pekerja atau buruhnya,Komunitas dunia industri atau UKM yang dalam hal ini mulai dari pemilik usaha sampai dengan pekerja /buruh , para pegawai negeri dan swasta . Kemudian diasumsikan pula jumlah penghasilan mereka yang dibelanjakan maupun yang ditabung . Kapan mulai membelanjakan dan kesiapan dan ketersediaan apa yang dimiliki Jombang untuk memenuhi kebutuhan mereka mulai dari kebutuhan primer maupun sekunder termasuk kebutuhan rekreasi pemilik lahan pertanian/perkebunan beserta pekerja dan buruhnya, para pemilih industri beserta pekerjanya, para karyawan negeri dan swasta serta kelompok pekerja lainnya dan masyarakat pemegang uang yang ada di kabupaten Jombang serta para penerima BLT , Sekali lagi pengklasifikasian ini bertujuan untuk mengantisipasi penyerapan uang agar tetap berputar di Jombang dalam rangka meningkatkan daya beli.
Kesiapan atau ketersediaan sarana dan parasarana dikaitkan dengan penghasilan kelompok pekerja yang sudah diklasifikasikan diatas dimaksudkan untuk “membendung “ hasrat mereka belanja keluar Jombang. Misalnya mereka yang penghasilannya tinggi atau besar misalnya para pemilih usaha maupun pemilik lahan pertanian yang luas maupun para pengambil kebijakan publik maupun dari kelompok pekerja/buruh , sudahkah di Jombang terdapat sarana & prasarana untuk memenuhi kebutuhan mereka ? (disini tidak dikupas tentang aliran ekonomi seperti neoliberal maupun kerakyatan tetapi kondisi ekonomi yang mampu membawa kemakmuran warga ). Seperti apa bentuknya ? Pendirian mall dan pasar tradisonal misalnya apakah hal tersebut mampu memuaskan mereka ? Jika pertanyaan ini terjawab dengan kata sudah maka kemungkinan partisipasi mereka dalam perputaran uang dijombang bisa dikatakan tinggi dan justru jika jawabannya tidak maka secara tidak langsung kita “terpaksa “ melepas rupiah ditangan mereka itu mereka belanjakan diluar Jombang alias tingkat partisipasinya dalam hal perputaran uang di Jombang lemah atau cenderung kecil . Dan peluang yang besar itu lenyap .
Sedangkan untuk menangkap peluang perputaran uang agar berada di Jombang secara stabil dan jika mungkin meningkat jika dari sisi warga masyarakat diluar Jombang adalah bagaimana mengemas atau menjual Jombang kepada masyarakat diluar Jombang . Dengan kata lain bagaimana caranya agar mereka mau mengunjungi Jombang dan membelanjakan atau berinvestasi di Jombang .
Selanjutnya mekanisme perputaran uang yang dalam hal ini intinya adalah meningkatnya daya beli maka jika masih dilihat dari sisi waktu menerima penghasilan dapat dikatagorikan harian, mingguan , bulanan maupun saat panen. Untuk itu agar daya beli stabil tentunya perlu memperhatikan hal – hal tersebut.
Dengan demikian perputaran uang dijombang dapat mulus dan lancar di Kabupaten Jombang dikatagorikan menjadi dua sasaran pertama perputaran uang dari warga diluar jombang yang ingin berkunjung ke Jombang dan membelanjakan uangnya maupun warga di luar Jombang yang mau berinvestasi di Jombang , untuk hal ini tentunya bagaimana jombang merespon peluang ini serta kedua perlunya kesadaran yang tinggi dari para pemegang uang yang telah disebutkan diatas yang merupakan warga jombang sendiri yang mencari nafkah di wilayah Jombang pula untuk membelanjakan uangnya di Jombang .
Sebuah keniscayaan akan sinyal keberhasilan dapat dicapai jika segala kemudahan dibidang usaha untuk meningkatkan pemerataan ekonomi (dan perlu dicatat bukan lagi mengejar pertumbuhan ekonomi ) di berikan pengambil kebijakan di Jombang serta direspon begitu antusias oleh warga masyarakat misalnya dengan mendirikan mall bagi pemilik modal besar maupun menjadi pedagang dipasar – pasar tradisional maupun di Aloon – aloon Jombang misalnya hal ini justru direspon lemah oleh pemilik / pemegang uang yang telah disebut dan diklasifikasikan diatas, dengan kata lain partisipasi dan kesadaran mereka dalam rangka meningkatkan daya beli rendah di Kabupaten Jombang dan memilih belanja diluar Jombang. Untuk itu dalam rangka menuju Jombang yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo maka sudah semestinya para pemilik/pemegang uang /modal yang kebetulan berada dan mencari di wilayah Jombang dengan kesadaran/partisipasi yang tinggi turut membelanjakan uangnya di wilayah Jombang agar daya beli meningkatkat dan perputaran uang itu tetap dari dan ke, serta untuk warga Jombang sendiri. Ternyata sebuah kunci sederhana untuk meningkatkan kemakmuran secara ekonomi suatu masyarakat yakni adanya perputaraan uang yang secara kontinyu dan stabil serta riil dengan peningkatan daya beli di wilayah tersebut, percuma jika dikembangkan atau banyak dilahirkan pedagang atau pelaku UKM tetapi dari sisi pasar atau daya beli untuk menyerap produk jualan lesu atau lemah. Daya beli didefinisikan kemempuan membeli barang / produk yang dijual .Untuk itu perlu kiat agar daya beli ekonomi kawasan Jombang meningkat , hal ini seperti dijelaskan diatas diantaranya adalah adanya kesadaran yang tinggi bagi warga jombang yang berperan sebagai pemilik atau pemegang uang untuk menggunakan/memanfaatkan uangnya secara tepat dan tidak cuma menimbun di dalam rumah karena hal ini akan memacu inflasi karena uangsudah beredar di masyarakat tapi tidak bias berputar karena “ditimbun “ di rumah saja .


======00000========