Senin, 29 Desember 2008

MENCERMATI SISI LAIN PENGABULAN UJI MATERIIL UU NO.10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR,DPD DAN DPRD OLEH

MENCERMATI SISI LAIN PENGABULAN UJI MATERIIL UU NO.10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR,DPD DAN DPRD OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh. Prince Dindah,SIP
( Warga Jombang yang tinggal di Jl.HOS Cokroaminoto 59 Jombang )


Pemilu 2009 semakin mendekat dari hari kehari, berbagai pihak yang memiliki kepentingan atas hajatan rakyat lima tahunan tersebut mulai merangsek dan menggeliat untuk mencari cara dan merebut suara pemilih . Tentunya cara – cara massif yang berstandar budaya dan etika politik bangsa yang perlu dikedepankan.
Sejarah pemilihan umum di Negara kita telah dilewati dengan beberapa model pemilu , berbagai variasi sistem proporsional telah diterapkan seperti; proporsional dengan stelsel daftar. Pemilu selama Orba menggunakan proporsional dengan daftar tertutup. Kritik terhadap model ini berimplikasi pada perbaikan pemilu 1999 dan 2004, setidaknya terdapat kombinasi antara daftar terbuka dengan tertutup. Penyelenggara pemilu pun tidak lagi pemerintah tetapi sebuah lembaga independent. Lembaga ini perlu didukung semangat untuk memasukkan anggotanya yang benar – benar steril dari kepentingan apapun kecuali kepentingan nasional bangsa ini, yang seharusnya benar – benar independent sampai ditingkat daerah yang tidak mau kompromi untuk diajak “kerjasama” dalam pengambilan keputusannya. Tapi mungkinkah hal ideal itu dilakukan ?
Memandang kajian keilmuan maka diuraikan bahwa , hubungan pemilih dengan calon yang akan dipilih memiliki hampir kesamaan dengan hubungan konsumen-produsen, karena itu sebuah pemasaran politik adalah vital dalam rangka mendalami perilaku pemilih sebagai konsumen. Dengan demikian, kecerdasan dan kejelian partai politik dalam menyikapi sistem pemilu dan seperangkat aturan pendukungnya akan sangat menentukan perolehan suara dan kursi parlemen pada pemilu 2009.
Untuk diketahui hakekatnya Pemilu adalah ruang pertarungan secara demokratis bagi partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Dengan pemilu, rakyat dapat memberikan kepercayaan atau mencabut mandat yang telah diberikan kepada partai politik atau kandidat pemegang kekuasaan pemerintahan dengan cara memilih atau tidak memilih kembali partai politik atau kandidat tersebut. Dengan demikian , pemilu merupakan hal yang sangat strategis dan merupakan sebuah keharusan capaian sasaran untuk setiap partai politik dalam menggapai pintu menuju panggung kekuasaan.
Pemilu pasca reformasi 1998 telah jauh lebih baik dibandingkan dengan pada masa Orba. Meskipun demikian tetap diperlukan perbaikan dalam sistem pemilu untuk pelaksanaan tahun 2009. Hasil pemilu 2004 menyisakan beberapa permasalahan diantaranya : tidak ada keadilan dalam penghitungan suara. Ia menunjuk pada perbedaan yang cukup tinggi antara hasil perolehan suara partai dengan jumlah kursi parlemen yang diperoleh partai bersangkutan. Untuk contoh; perolehan suara secara nasional Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada pemilu 2004 sebesar 11.989.564 (10,57%). Jumlah itu lebih besar daripada suara yang diperoleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebanyak 9.248.764 (8,15%). Namun dalam perolehan kursi DPR RI terdapat perbedaan yang cukup kontradiktif, PPP memperoleh 58 sedangkan PKB hanya 52 kursi. Suara yang diperoleh Partai Amanat Nasional (PAN) sebesar 7.303.324 (6,44%) jauh lebih kecil dari PKB, namun kursi yang didapat jumlahnya sama. Jika dibuat tabel tertinggi dan terendah antara perolehan suara dibagi jumlah kursi maka “harga kursi paling mahal” diperoleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), 1.424.240 suara untuk 1 kursi, sedangkan harga terendah diperoleh PAN dengan perbandingan 140.448 suara untuk 1 kursi. Jumlah suara dari berbagai partai politik yang tidak memperoleh kursi DPR sebanyak 5.457.851 (4%).
Dalam kajian keilmuan , hal – hal yang menentukan capaian kemenangan partai politik dalam pemilu, diantaranya ; Pertama, perilaku pemilih. Faktor ini disebabkan oleh; isu dan kebijakan partai yang ditawarkan kepada rakyat, citra partai dan kandidat, ikatan emosional pemilih dengan partai dan kandidat, serta situasi kondisi masyarakat pada saat pemilu. Kedua, sistem kepartaian yang terdiri dari single party, dwi party, multi party. Di Negara kita sistem yang dipilih adalah multi party. Konsekwensinya , kompetisi antar partai politik berjalan ketat, tetapi arti positifnya rakyat punya variasi pilihan. Ketiga, sistem pemilu, meliputi model atau tipe pemilu, penentuan daerah pemilihan (DP) dan sebagainya. Pilihan terhadap variabel-variabel tersebut berpengaruh terhadap pencapaian/hasil pemilu serta strategi partai politik untuk memenangkan pemilu itu.
Dalam tiga sebab berpengaruh tersebut, sistem pemilu adalah penyebab besar dalam pencapaian sasaran perebutan kekuasaan di panggung politik .Untuk diketahui secara umum model cara pemilu, diklasifikasi tiga model dasar : pertama, sistem mayoritas, yang didasarkan pada daerah-daerah pemilihan (distrik) didalam wilayah yang berada dibawah wewenang sebuah badan terpilih (badan legislatif). Kandidat atau partai yang memenangkan jumlah suara terbanyak dalam suatu daerah pemilihan memenangkan semua posisi perwakilan untuk daerah pemilihan tersebut.
Kedua, sistem representasi proporsional Sistem ini bertujuan untuk menghasilkan lembaga perwakilan secara proporsional. Artinya, proporsi kursi-kursi yang dimenangkan tiap partai politik mencerminkan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik tersebut. Daerah pemilihan dapat ditetapkan dalam satu wilayah administratif seperti negara, provinsi atau kabupaten/kota dengan jumlah wakil yang terpilih untuk satu distrik ditentukan oleh prosentase suara sah yang diraih oleh partai atau kandidat peserta pemilu dalam distrik tersebut.
Ketiga, sistem semi proporsional,sistem ini memberikan peluang bagi partai politik yang tidak memperoleh dukungan suara terbanyak untuk tetap dapat memperoleh perwakilan. Namun sistem ini tidak dirancang untuk memberikan alokasi perwakilan sesuai dengan prosentase suara yang diperoleh partai politik seperti sistem representasi proporsional.Pilihan sistem ini sangat tepat terutama bagi kondisi masyarakat yang heterogen. Model representasi proporsional menekankan aspek keadilan terhadap suara rakyat. Setiap satu suara yang dimiliki rakyat dihargai dan diperhitungkan. Dengan model ini, sisa suara dari partai masih tetap diperhitungkan dan tidak dianggap hilang. Hal lainnya, karakter pemilih sebagian besar masih bersifat irasional. Efeknya, sentimen primordial, emosional dan sebagainya dapat mengalahkan perhitungan rasional dan logika. Karena itu, peran partai politik untuk menyeleksi calon wakil rakyat masih diperlukan sebagai salah satu jalan untuk mengeliminasi kondisi tersebut. Keuntungan politik lainnya, partai masih dapat melakukan kontrol terhadap kadernya (yang akan maupun yang sudah duduk di parlemen) agar tetap konsisten dengan garis politiknya. Konsekuensinya, partai dituntut untuk lebih serius dalam menjalankan pendidikan politik sehingga dapat melahirkan kader-kader pemimpin, melakukan fungsi rekrutmen elite politik serta meningkatkan kinerja politiknya.

Baru – baru ini Mahkamah Konstitusi (MK)mengabulkan permintaan uji materiil UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD utamanya pasal 214. Secara garis besar MK memutuskan Calon Legeslatif pada pemilu 2009 ditentukan melalui system suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Dengan demikian maka caleg yang mendapatkan nomor besarpun punya kesempatan yang sama berebut kursi lembaga perwakilan rakyat.

Secara implisit keputusan MK tersebut membawa kearah model system pemilihan umum dengan model distrik dengan suara terbanyak sesuai dengan aturan kepemiluan. Keputusan MK ini merupakan obat kepiluan bagi para caleg yang pesimistis dari subuah partai politik yang masih menerapkan nomor urut, dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut para caleg dengan nomor urut besar mulai sedikit trengginas dan bersemangat untuk melakukan kerja – kerja politik mereka. Sedikit pesimistis tersebut memang beralasan karena jika partai yang menganut nomor urut maka sak ngoyo – ngoyone caleg nomor urut besar kerja berebut kursi tapi ternyata tak memenuhi syarat maka raihan kursinya maka posisinya hanya sebagai vote getter, dan ini tentunya akan menguntungkan caleg dengan nomor urut kecil. Mereka tanpa kerja berkeringat lebih dapat kursi dari nomor urut dibawahnya yang tidak memenuhi syarat. Disinilah mereka menemukan celah ketidakadilan itu.

Dengan pemberlakuan suara terbanyak dalam pemilu 2009 nanti ada beberapa hal yang perlu dicermati diantaranya pertama derajat pemilu legeslatif makin berkualitas secara bersyarat. Ini diartikan bahwa dalam penyelenggaraan pemilu 2009 harus dilakukan secara jujur, bersih dan jauh dari intervensi manapun terhadap penyelenggara pemilu dari pusat sampai daerah. Kasus tentang Pemilihan Gubernur Jawa Timur, yang memaksa prosesnya sampai dibawa ke MK dan diputuskan oleh MK untuk diulang dibeberapa titik pemilihan jelas-jelas ada ketidakberesan dalam penyelenggaraannya. Ini merupakan sebuah teladan pemilihan pimpinan daerah yang buruk dan jangan menjadi sebuah preseden dalam pemilu 2009. Ini sangat memalukan. Ada konspirasi kepentingan yang dianggap mampu mengalahkan kekuatan suara pemilih. Untuk itu bagaimana mengawalinya ? Pertama perlu dilakukan proses rekruitmen anggota penyelenggara pemilu dari pusat hingga dari daerah secara jujur, terbuka dan bersih serta memilih orang – orang yang memiliki dedikasi, loyalitas dan idealisme tinggi untuk kepentingan bangsa dan negara yang mana orang atau pribadi tersebut harus memiliki syarat yakni “ tidak bisa diajak kerjasama” untuk melakukan penyimpangan hanya demi memenangkan kepentingan satu rezim, segelintir golongan atau pribadi. Kedua seluruh komponen masyarakat utamanya ditingkat saksi dalam pencoblosan harus semakin dikuatkan, karena disinilah ujung permasalahan. Jika saksinya lemah maka dapat dimainkan oleh pihak lain untuk melakukan kecurangan dalam rangka perebutan pemenang. Ketiga ada niat konstruktif dari semua peserta pemilu dan masyarakat bahwa pemilu legeslatif 2009 amat menentukan roda pemerintahan dari pusat dan daerah lima tahun mendatang. Ini berkonsekwensi pada hasil pemilu tersebut, korelasinya adalah jika hasil pemilu memenangkan orang – orang yang duduk dalam legeslatif adalah kemenangannya adalah dengan kecurangan maka tunggulah kehancuran pemerintahan tersebut, karena jika sesuatu dimulai dengan kecurangan maka dalam proses kerjanya juga dengan menghalalkan kecurangan tersebut. Dan jika ini terjadi maka kegagalan sebuah reformasi karena tuntutan reformasi itu sendiri ditingkat pemerintahan adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan jauh dari KKN dalam rangka menunjukan kewibaannya. Keempat adalah peran media massa : elektronika maupun kertas. Media massa utamanya yang berpengaruh seharusnya menjalankan fungsi mulianya untuk melakukan control terhadap pemerintahan dan melakukan pencerahan pada masyarakat. Media massa jangan mau terbeli oleh rezim sehingga tulisannya jauh dari fungsi control, jangan ada rasa takut untuk melakukan tulisan kebenaran, karena dengan tangan dan tinta media massa akan mendukung penyelenggaraan negara yang bersih. Ketakutan media massa adalah keniscayaan dijaman sekarang ini. Tetapi terbelinya sebuah media oleh rezim sehingga terkondisinya pemberitaan media itu sendiri amat tergantung pada pengelola media. Untuk itu agar media tidak takut dan tidak mudah terbeli maka perlu jaga jarak. Jangan ada kru media yang menjadi pengecut atas kehadiran media itu sendiri. Walaupun disadari media itu juga sebuah perusahaan yang berfungsi profit. Jangan sampai idealisme jurnalistik dikebiri rasa takut dan terbeli sehingga media massa itu menjadi kepanjangan informasi rezim. Dari beberapa hal diatas maka pemilu 2009 dimungkinkan akan berkualitas. Ingat bagi para politikus banyak cara melakukan politik secara elegan dan tidak dengan kekotoran.
Kedua partai politik peserta pemilu dalam rekruitmen kader yang dicalonkan dalam pertarungan perebutan kursi lembaga perwakilan harus benar – benar selektif, dan menentukan pilihan pada orang – orang yang dimungkinkan mampu membawa semangat,visi dan misi partai. Hal ini penting bahwa dengan perubahan orde ini banyak politikus yang opportunities dan menjadi kutu loncat. Sikap politikus model ini sangat berbahaya bagi partai politik yang bersangkutan, karena partai politik dipakai sebagai lahan mencari pekerjaan dan ini tentunya akan memperkaya dirinya sendiri. Ini sangat berbahaya dan berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan seandainya yang bersangkutan terpilih dan ujung – ujungnya rakyat yang dirugikan. Bukan kemakmuran masyarakat yang dia perjuangkan tetapi pengumpulan pundi – pundi pribadinya yang dia pikirkan. Untuk diketahui fungsi partai politik adalah memperjuangkan aspirasi masyarakat yang memilihnya sesuai dengan garis kebijakan serta visi dan misi partai politik yang bersangkutan. Jadi seorang anggota legeslatif itu minimal harus kaya mental dan material. Karena jadi anggota legeslatif itu bukan lahan mencari pekerjaan.

Ketiga mengubah cara pandang dan cara pikir massa pemilih tentang hakekat pemilu legeslatif. Selama ini telah terbentuk dikotomi kepentingan diantara pemilih yang berdampak pada ketidak merataan pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan . Seharusnya pemilih memahami terlebih dahulu tentang hakekat kepentingan nasional bangsa tercinta ini, baru kemudian menjatuhkan pilihan pada partai politik yang mampu mengakomodir kepentingan pemilih dan golongannya itu. Seandainya pola piker dan pola pandang ini dibalik dimana mendahulukan kepentingan pemilih dan golongannya baru kepentingan nasional bangsa ini maka yang terjadi adalah disharmoni pemerintahan, saling berebut jatah APBN ataupun APBD yang berujung pada diskontinyuitas kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Pemahaman tentang asal usul dana APBN/APBD oleh masyarakat disusul jajaran eksekutif sebagai pelaksana yang melaksanakan secara kerja keras dan komitmen melakukan kerja yang bersih maka hal – hal yang bersifat perebutan piring kepentingan dengan main mata atau kong kalikong niscaya tidak akan berlangsung dipanggung politik.

Keempat Organisasi kepartaipolitikan . Dengan model distrik yang menganut suara terbanyak maka mau – tidak mau maka jika ingin survival maka partai politik perlu melakukan reorientasi strategi pelaksanaan kerja organisasinya kearah konstruktif, professional dan modern. Hal ini penting agar kontinyuitas kepercayaan masyarakat pemilih pada orpol tersebut terus berlanjut sepanjang masa. Menjaga keberlanjutan kepercayaan tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan jalan memugar cara kerja organisasi yang semula mungkin dianggap konvensional dengan kedekatan dan lain- lain diubah kearah profesionalisme anggota partai, penjaringan atau rekruitmen kader dan membentuk kearah militansi adalah sebuah keharusan mulai dari jajaran pengurus pusat maupun sampai anggota terndah dan juga orang – orang yang diberi mandate partai untuk duduk dilembaga perwakilan. Dengan demikian dengan system distrik ini maka roda organisasi partai politik tentunya harus lebih modern dan mutakhir mengikuti ritme dan dinamika politik masyarakat yang terus berkembang. Cara – cara konvensional yang dianggap menghambat kepercayaan masyarakat harus dieliminir dan jika perlu dihapus , system pengorganisasian mulai dari rekruitmen kader,pengelolaan anggaran atau dana partai dalam rangka jalannya mesin partai harus benar – benar dipikir untuk dicarikan jalan tengahnya dan harus up to date sampai di tingkat terendah, jika tidak maka orpol tersebut akan ditinggal massa pendukungnya akan ditinggal. Perlu untuk dicatat dengan model distrik suara terbanyak ini jika tidak akan dilakukan perubahan dalam jalannya organisasi sebuah parpol akan terjadi stagnasi. Hal ini karena dengan model ini tampaknya partai politik tergantung nilai jualnya pada para anggota partai tersebut yang didudukan di lembaga legeslatif.Dengan demikian maka dalam pemilu legeslatif yang pertama dengan memakai sistim distrik suara terbanyak ini maka partai politik tergantung dengan anggota nya yang jadi dilegeslatif. Untuk itu agar ketergantungan tersebut dikurangi maka perl;u ada reorientasi atau perombakan yang revolusioner dalam system kerja atau menejemen harian sebuah partai politik.Hal ini penting utamanya dalam hal pendanaan partai politik yang bersangkutan. Berjalannya sebuah organisasi salah satunya adalah adanya kelancaran aliran dana !!, bukan begitu? Untuk itu partai politik harus pandai – pandai mencari dana demi keberlangsungan partai politik tersebut.

Pencermatan kelima adalah perlunya netralitas dan profesionalisme birokrasi pemerintah ditingkat pusat sampai dengan daerah. Ini bertujuan untuk menjaga agar Visi, misi dan tujuan dari penyelenggaraan pemilu legeslatif itu benar – benar tepat sasaran dipusat sampai daerah. Netralitas dan profesionalisme jajaran birokrasi pemerintah itu penting karena dengan diberlakukannya otonomi daerah dan pilihan kepala daerah ( Bupati dan Gubernur) secara langsung maka peran partai politik ternyata begitu mengakar dalam jajaran birokrasi pemerintah, penempatan dan pemasangan pejabat tentunya harus sesuai dengan “visi dan misi” partai politik yang bersangkutan. Birokrat pemerintah yang “mau” sejalan dengan “visi dan misi” partai politik yang bersangkutan maka birokrat tersebut mendapat tempat , dan justru sebaliknya jika birokrat tersebut akan jalan ditempat. Keterkaitan netralitas dan profesionalitas birokrasi pemerintah itu dalam penyelenggaraan pemilu adalah dalam hal intervensi penyelenggaraan pemilu. Birokrasi pemerintah pusat dan daerah tidak boleh intervensi pada penyelenggara pemilu, untuk hal ini seyogyanya pada level petugas sekretariatan penyelenggara pemilu di pusat dan daerah bukan dari PNS pusat / daerah yang ditempatkan di lembaga penyelenggara pemilu tersebut, tetapi rekruitmennya harus benar – benar baru dan hanya diberi tupoksi di sekretariatan penyelenggara pemilu .Hal ini penting untuk menghindari tarik ulur kepentingan , ini dimungkinkan karena di era pemilihan kepala daerah langsung maka ada kepentingan dari kepala daerah yang bersangkutan untuk memenangkan partainya dalam pemilu legeslatif dalam rangka mengawal kebijakannya di tingkat pengambilan keputusan legeslatif.
Jadi dengan dikabulkannya uji materiil UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR,DPD dan DPRD oleh Mahkamah Konstitusi dimungkinkan akan lahir kualitas hasil pemilu yang lebih proporsional sesuai tuntutan reformasi , tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan beberapa pencermatan diatas.



-----ooo-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar